TINJAUAN BUKU POLITIK WACANA BUDAYA KEBERSIHAN DALAM PASCAKOLONIAL INDONESIA

Wahyudi Akmaliah Muhammad

Abstract

Kebersihan menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Kebersihan
sering kali menjadi prasyarat dalam pergaulan dan interaksi sosial. Seseorang
dikatakan bersih bisa dilihat dari penampilan, baik itu cara berpakaian, tata
krama yang dipraktikkan, maupun cara menggunakan perangkat makan, seperti
sendok dan garpu, serta cara menyikapi kondisi tubuh dalam mengeluarkan
sesuatu dari dalam tubuh (misalnya, ketika batuk, mengeluarkan dahak, ataupun bersin). Di sisi lain, kebersihan bisa menjadi penanda tingkat pendidikan
seseorang, apakah ia bisa dikategorikan sebagai “modern” atau “tradisional”,
berpendidikan atau kurang berpendidikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 180-181), kata bersih, secara harfiah, diartikan ‘bebas dan tidak
tercemar dari kotoran, serta tidak tercampur unsur zat lain’. Sementara itu,
kata kebersihan lebih merujuk pada ‘perihal keadaan bersih, suci, murni, dan
kepercayaan manusia yang tidak mengandung noda, kotoran, ataupun dosa’.
Di sini, kebersihan tidak hanya menyangkut lingkungan, tapi juga pengelolaan
tubuh terkait sesuatu yang berada ataupun di dalam yang mesti dihilangkan.
Tidak ada definisi yang ketat mengenai kebersihan dan maknanya, dalam
hal dan konteks apa sesuatu ataupun seseorang dianggap bersih. Alasannya,
wacana kebersihan lebih menyangkut dengan cara pandang, dan bagaimana
cara pandang itu dikonstruksi dan direproduksi, yang dapat membentuk
pemahaman seseorang atas apa yang dianggap bersih dan kotor. Melalui
mekanisme ini makna kebersihan diartikulasikan. Bagi orang yang bergaya
hidup di perkotaan, misalnya, membuang ludah di sembarang tempat tidak
hanya dianggap jorok, tetapi tidak berbudaya dan dianggap kampungan. Agar terlihat santun dan beradab, seseorang yang membuang ludah menggunakan
sapu tangan ataupun tisu, lalu disimpan di saku baju bila tidak menemukan
tempat sampah. Sebaliknya, bagi orang yang hidup di pinggiran kota besar dan
perdesaan, membuang ludah bisa di mana saja, asalkan tidak di dalam rumah.
Alasannya, ludah adalah kotoran yang harus dibuang segera. Ia tidak terlalu
memikirkan apakah tindakan itu berbudaya atau tidak. Justru, baginya, orang
tidak dianggap berbudaya ketika menyimpan ludah di sapu tangan ataupun tisu
lalu menyimpannya ke dalam saku. Definisi kebersihan dan posisi orang yang
lebih berbudaya menjadi relatif terkait dengan cara pandang dan relasi sosial
yang bersinggungan dalam memaknai kebersihan.
Untuk lebih jelas mengetahui bagaimana kebersihan dikonstruksi dan
direpro duksi massal, kita bisa melihat iklan produk pembersih. Pada tahun
1980 hingga 1990-an, saat televisi hanya memiliki satu jaringan, TVRI, kita
hanya mengenal dua produk pembersih. Sabun mandi yang digunakan untuk
membasuh seluruh permukaan badan, termasuk wajah. Sabun batangan yang
digunakan untuk keperluan mencuci pakaian, peralatan memasak, dan perkakas
dapur. Melalui iklan televisi, kita dihadapkan pada pelbagai macam produk
pembersih yang sudah terspesialisasikan. Tiap-tiap produk tersebut dianggap
memiliki kegunaan untuk membersihkan dan menghilangkan kotoran dan noda
dari setiap anggota tubuh dan barang yang kita gunakan. Melalui dramatisasi dalam mengonstruksi kuman dan bakteri yang terdapat dalam kotoran,
iklan-iklan tersebut berusaha menciptakan efek filmis untuk memengaruhi
kita agar berhati-hati dan tetap menjaga kebersihan dalam situasi apa pun.
Dengan visualisasi yang kuat, iklan tersebut seakan meneguhkan bahwa “juru
selamat” penghindar dari kotoran yang mengandung bakteri dan kuman adalah
produk-produk pembersih mereka (Dovita 2011).
Penjelasan di atas adalah wacana kebersihan melalui praktik-praktik budaya
populer dalam konteks kekinian, khususnya pascarezim Orde Baru. Bagaimana
dengan wacana kebersihan dalam sejarah Indonesia, khususnya fase kolonial
Belanda yang sangat memengaruhi watak dan budaya masyarakat Indonesia
kebanyakan hingga saat ini? Buku hasil dari konferensi, dipimpin oleh Kees
van Dijk dan disponsori oleh KTILV, Royal Netherlands Institute of Southeast
Asian and Carribbean, Leiden, Belanda, setidaknya bisa menjawab pertanyaan
itu. Buku yang terdiri dari tujuh bab, ditulis oleh akademisi Belanda dan Australia, dapat membantu pembaca memahami wacana kebersihan masa Hindia
Belanda dipraktikkan dan digunakan untuk mengonstruksi atas apa yang dianggap bersih dan kotor. Selain itu, melalui buku ini, pembaca akan ditunjukkan
makna kebersihan bagi orang Indonesia kebanyakan, khususnya di daerah Jawa
dan perubahan makna kebersihan dengan berkiblatnya orang-orang Barat ke
dunia Timur, melalui spa (lulur, mandi air hangat, dan pijat refleksi).
Untuk mempermudah pembahasan tinjauan buku tersebut, pertama, saya akan
menjelaskan terlebih dahulu studi poskolonial sebagai pijakan yang digunakan
dalam mendiskusikan buku ini. Kedua, dinamika wacana kebersihan sebagai
pembahasan utama yang membentuk identitas kelas dan ideologi. Ketiga,
penutup, yang berisi catatan konstruktif terhadap isi buku ini dengan memberikan sejumlah masukan.

Full Text:

PDF

References

Abdul Kadir, Hatib. 2012. “Budaya Kebersihan dalam Sejarah Indonesia”, dalam

Review Buku Cleanliness and Culture Indonesian Histories (ed. Kees van

Dijk dan Jean Gelman Taylor, 28 Februari 2012, http://etnohistori.org/budayakebersihan-dalam-sejarah-indonesia-review-hatib-abdul-kadir.html, diakses 9

November 2012.

Budianta, Melani. 2002. “Teori Sastra Sesudah Strukturalisme: Dari Studi Teks ke

Studi Wacana Budaya”. PPKB LPUI dalam Pelatihan Teori dan Kritik Sastra,

PPPG Bahasa 27-30 Mei 2002.

Dovita, Maria. 2011. “Kotor itu Duit: Cerita Soal Produk Pembersih di Televisi”, http://

remotivi.or.id/pendapat/kotor-itu-duit, dikutip 1 November 2012

Leela, Gandhi.1998 . Postcolonial Theory: A Critical Introduction. St. Leonadrds:

Allen & Unwin.

Copyright (c) 2017 Masyarakat Indonesia

Refbacks

  • There are currently no refbacks.