ORANG LAUT, PERMUKIMAN, DAN KEKERASAN INFRASTRUKTUR

Khidir Marsanto Prawirosusanto

Abstract

Artikel ini mendiskusikan hubungan Orang Laut di Kepulauan Riau dengan pembangunan infrastruktur dalam program pemukiman suku-suku terasing oleh pemerintah Orde Baru. Melalui perspektif governmentality, kita dapat melakukan refleksi historis dan etnografis. Pada satu pihak, ketersediaan permukiman adalah ihwal bagaimana pemerintah mewujudkan angan-angan kemajuan suatu bangsa di segala lini kehidupan warganya. Pada pihak lain, hal ini memantik sederet persoalan sosial dan kultural dalam kehidupan Orang Laut sebagai komunitas pengembara laut. Dengan adanya program pemukiman, Orang Laut justru terjerumus ke dalam kondisi kemiskinan, ketergantungan, kerentanan, dan ketersingkiran. Sejumlah konsekuensi negatif inilah yang disebut sebagai kekerasan infrastruktur (infrastructural violence). Akar dari sejumlah konsekuensi negatif tersebut terletak pada kekeliruan pemahaman pemerintah mengenai kebudayaan masyarakat berbasis laut yang amat bias dengan perspektif masyarakat berbasis darat. Kebijakan yang dilahirkan untuk menangani masalah-masalah masyarakat kelautan pun pada akhirnya meleset.

Kata kunci: Orang Laut, governmentality, program pemukiman, infrastruktur, kekerasan, budaya kelautan. 

Full Text:

PDF

References

Appadurai, A. (2002). Deep democracy: urban governmentality and the horizon of politics, Public Culture, 14(1), 21–47.

Appel, H., Anand, N. & Gupta, A. (2015) Introduction: the infrastructure toolbox. Fieldsights- theorizing the contemporary. Cultural Anthropology Online, September 24, 2015, diakses dari http:// culanth.org/fieldsights/714-introduction-theinfrastructure-toolbox.

Barker J. (2005). Engineers and political dreams: Indonesia in the satellite age. Current Anthropology, 46(5),703–27.

Bettarini, Y. (1991). Dari hidup mengembara menjadi menetap: orang laut di Pulau Bertam, Kotamadya Batam, Provinsi Riau. Skripsi sarjana Antropologi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.

Chou, C. (1997). Contesting the tenure of territoriality: the Orang Suku Laut. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkendkunde, Riau in Transition, 153,(4), 605–629, Leiden.

Chou, C. (2010). The Orang Suku Laut of Riau, Indonesia: the inalienable gift of territory. London: Routledge.

Chou, C. & Wee, V. (2002). Tribality and globalization: the Orang Suku Laut and the “growth triangle” in a contested environment. Dalam G. Benjamin & C. Chou (eds.), Tribal communities in the Malay world: historical, cultural and social perspectives (pp.318–363). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Colchester, M. (1986). Unity and diversity: Indonesian policy towards tribal peoples. The Ecologist, 16 (2/3), 89–98.

Direktorat Bina Masyarakat Terasing (DBMT). (1987a). Data dan informasi pembinaan masyarakat terasing. Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia.

Direktorat Bina Masyarakat Terasing (DBMT). (1987b). Pola pembinaan kesejahteraan sosial suku laut di Batam: suatu konsep. Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RepublikIndonesia.

Direktorat Bina Masyarakat Terasing (DBMT). (1987c). Petunjuk pelaksanaan pola pembinaan kesejahteraan sosial Suku Laut di Batam. Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia.

Copyright (c) 2016 Masyarakat Indonesia

Refbacks

  • There are currently no refbacks.